Friday 22 October 2010

Wanita-Wanita Tegar dari Palestina

Penjajahan Israel terhadap Palestina telah menyebabkan penderitaan. Dengan “restu” dunia internasional, Israel bebas melakukan apa saja yang mereka kehendaki terhadap rakyat Palestina. Isreal bisa menangkap mereka sewaktu-waktu dengan alasan yang tidak jelas. Disamping itu, perkosaan dan penyiksaan terhadap wanita-wanita Palestina di penjara Israel juga tidak sepi dari pemberitaan.

Tidak cukup sampai di situ, negeri Zionis itu juga bebas melakukan pembunuhan terhadap wanita-wanita Palestina. Peristiwa pembunuhan itu bisa saja terjadi saat mereka berada di rumah, yakni dengan cara meledakkan rumah tersebut. Atau ketika mereka melakukan perjalanan, bahkan beberapa remaja wanita tewas saat mereka duduk di bangku sekolah.

Lebih dari itu, Israel juga membunuh wanita-wanita Palestina dengan perlahan-lahan. Lewat pos-pos penjagaan mereka, pasukan Israel melarang wanita-wanita sakit dan hamil untuk mendapat pertolongan medis. Mereka terpaksa “menunggu maut” menjemput. Bayi-bayi mungil yang tidak tahu apa-apa juga menjadi korbannya. Banyak yang meninggal di pos-pos penjagaan, karena mereka harus dilahirkan tanpa pertolongan medis.

Tapi, penderitaan itu semua membuat rakyat Palestina berhenti berjuang? Tidak. Perjuangan rakyat Palestina terus berlangsung hingga sekarang.
Nah, Ihwal kali ini menyajikan penderitaan yang dialami wanita-wanita Palestina. Semoga sajian kami ini menyentuh kita semua, sehingga kita tak pernah bosan memberi dukungan kepada rakyat Palestina. Semoga bermanfaat. *Thoriq/Suara Hidayatullah

Disiksa dan Diperkosa

Keadaan wanita-wanita Palestina di penjara Israel, sangat memprihatinkan. Berbagai siksaan fisik dan mental mereka rasakan.

Melahirkan dengan tangan dan kaki diborgol. Tentu saja sangat merepotkan. Itulah yang dialami Amimah Al-Agha, seorang wanita Palestina. Ia ditangkap Israel, lalu dijebloskan ke penjara Al-Majdal.

Amimah awalnya tak tahu bahwa dirinya hamil. Tiba-tiba ia merasa perutnya mules. “Saya lalu memeriksakan diri ke rumah sakit di penjara,” kata Amimah.

Saat kontrol itu, tangan dan kaki Amimah dalam keadaan diborgol. Dan itu berlangsung hingga menjelang detik-detik kelahiran. Dokter yang membantu persalinannya meminta agar borgolnya dilepas, tetapi petugas penjara melarangnya. Terjadilah perdebatan di antara keduanya. “Akhirnya, borgol di kaki saya dilepas, sedangkan tangan saya tetap terikat di tempat persalinan,” tutur Amimah.

Wanita yang sedang bertaruh nyawa ini melahirkan tanpa ditemani oleh siapapun, dan petugas penjara tidak mengizinkannya menyampaikan berita kelahiran ini kepada keluarga.

Setelah melewati banyak kesusahan, lahirlah seorang bayi perempuan. Undang-undang yang berlaku di Israel melarang anak perempuan itu keluar penjara dan hidup di lingkungan normal, sehingga selama dua tahun bayi itu menjalani hidup bersama Amimah di penjara.

Amimah tidak sendirian. Samr Shabih (22), yang tinggal di kamp Jabaliya Gaza, mengalami kejadian serupa. Pada tahun 2005 Israel menahannya dalam keadaan hamil dua bulan. Memahami dengan baik kondisi mental wanita hamil, serdadu Israel mengancam hendak menggugurkan janinnya jika enggan bekerja sama saat diinterogasi. Interogasi itu berlangsung selama 66 hari, dan tiap harinya memakan waktu 18 jam nonstop.

Dokter di penjara menyatakan bahwa ia tidak bisa melahirkan dengan cara normal, kecuali dengan jalan operasi medis. Akhirnya dengan penjagaan ketat, ia melakukan proses persalinan. Ikatan tangan dan kaki tidak dilepas, kecuali hanya dalam setengah jam ketika menjalani operasi. Tahun 2006 ia dibebaskan, tanpa proses pengadilan.

Tak cukup memborgol dan mengancam, tentara Israel juga melakukan penyiksaan secara fisik. Adalah Maha Awad (22) yang ditahan pada November 2004. “Tentara Israel menendang saya, hingga mengalir darah dari mulut saya. Sedangkan tentara lainnya mengancam akan memperkosa saya,“ kata Maha.

“Tidak hanya itu, kondisi tahanan pun amat memprihatinkan. Disamping tempat tidur yang basah, tempat buang air pun berada di samping tempat tidur. Persediaan air terbatas, dan kalau saya meminta air, maka seorang petugas mengencingi gelas dan menyodorkan ke hadapan saya seraya menyuruh saya meminumnya,” tutur Maha.

Masih ada lagi penderitaan lain. “Makanan yang diberikan kepada saya kotor dan sudah dikerubuti banyak lalat,” ungkap wanita Nablus, yang ditahan selama lebih dari tiga tahun.

Kesulitan ketika berada dalam masa interogasi juga dirasakan oleh Iman Ahras, yang dipenjara oleh Israel selama empat tahun. “Saya terikat di kursi selama tiga hari berturut-turut. Tidak makan, tidak minum, tidak tidur, serta tidak pergi ke toliet,“ ungkap wanita yang dituduh hendak melakukan bom bunuh diri itu. Iman kemenakan Ayat Ahras, wanita pelaku bom bunuh diri pada tahun 2002.

Tidak jauh berbeda dengan yang dialami Samir Kan’an (26). Sebagaimana dilansir oleh organisasi Nadi Al-Asir Al-Filistini (Komunitas Tahanan Palestina) pada 16/8/2008. Para tentara Israel mendatangi rumahnya yang berada di kota Nablus, di tengah malam. Mereka mengepung rumah dan menggedor pintu. Ketika ia membuka pintu, mereka langsung menanyai macam-macam dan melarangnya mengenakan pakaian yang layak. Ia kemudian dibawa oleh para serdadu Israel dengan tetap memakai pakaian tidur, tanpa menjelaskan alasan penangkapan.

Sesampai di tahanan, “Mereka menempatkan saya di sel yang sempit yang hanya berukuran dua meter persegi, kotor, dingin dan tidak ada ventilasi. Ada lubang di lantai, yang digunakan untuk buang air, yang baunya amat busuk. Dinding berwarna abu-abu sudah rusak, sehingga untuk bersandar saja tidak bisa. Selama interogasi, saya tidak mengerti, waktu siang atau malam. Apalagi suara buka-tutup sel yang memekakkan telinga, seringkali terdengar, sehingga kepala ini rasanya mau pecah,” cerita Samir yang orangtuanya tinggal di Libanon ini.

Saat itu tidak ada yang tahu nasib Samir, karena keluarga dan pengacara sekalipun tidak bisa menemuinya, kecuali setelah 26 hari. Disamping dimasukkan ke sel sempit, para serdadu selalu mengancam akan mengasingkannya, jika tidak mau menjawab pertanyaan mereka. Akhirnya pada hari ke 35 wanita ini dibebaskan, dengan uang tebusan 5000 shekel atau sekitar 4,7 juta rupiah, dan ia dinyatakan tidak bersalah!

Menahan 10 Ribu Wanita
Kisah yang memilukan mengenai tahanan wanita Palestina juga pernah dipublikasikan oleh Islamonline.net (20/5/2004). Seorang tahanan wanita yang baru bebas yang enggan dipublikasikan namanya menyatakan bahwa ia melihat labih dari 15 tahanan wanita Palestina di penjara Israel telah mengalami perkosaan pasca interogasi. “Para interogator menggunakan cara ini sejak lama,” katanya

Wanita yang ditahan pada tahun 1989 ini mengisahkan, ”Para interogator dan intel suka mengambil gambar perkosaan dengan kamera video, dan gambar itu digunakan untuk menekan tahanan wanita lainnya agar mengaku. Saya mengalami perkosaan dan pada saat itu mereka juga mengambil gambarnya. Setelah saya bebas dan mencoba untuk melakukan perjalanan ke Yordan, seorang intel menunjukkan foto-foto itu.”

Hal itulah yang menyebabkan banyak kasus pelecehan yang tidak segera terungkap ketika seorang tahanan wanita Palestina dibebaskan. ”Pihak penjara Israel mengancam akan menyebarkan foto-foto itu jika berani berbicara tentang perkosaan di penjara kepada pers dan publik,” kata perempuan yang telah mendekam di penjara Israel selama sembilan tahun ini. Hal inilah yang menyebabkan ia enggan disebut namanya oleh media.

Wanita-wanita di atas tidak sendirian. Sejak 40 tahun pasca penjajahan Israel, negeri biadab ini telah melakukan penangkapan terhadap 7000 wanita Palestina, baik yang tinggal di Tepi Barat maupun Gaza. Dan dari hasil sensus Kementerian Urusan Tawanan Palestina, menunjukkan bahwa Israel sejak tahun 1967 hingga 2007 telah menahan kurang lebih 10 ribu wanita Palestina.

Dari jumlah itu, 700 wanita telah ditahan ketika intifadah pecah. Dari jumlah tahanan itu, kini masih tersisa 97 tahanan wanita, 93 berasal dari Tepi Barat, Al-Quds, dan wilayah yang diduduki Israel pada tahun 1948, sedangkan sisanya berasal dari Gaza.

Salah satu wanita cukup terkenal yang masih mendekam di penjara Israel adalah Dr Maryam Shalih, yang ditangkap pada tanggal 12/11/2007. Ia wanita anggota parlemen Palestina, yang pertama kali ditahan oleh Israel. *Thoriq/Suara Hidayatullah DESEMBER 2008

Aroma Kematian di Chek Point

Pos-pos keamanan Israel menjadi momok bagi perempuan hamil. Banyak yang melahirkan, lalu meninggal.

Petugas pos kemanan Israel mencegat ibu-ibu hamil yang hendak pergi ke rumah sakit untuk persalinan. Akibatnya, banyak dari mereka yang melahirkan tanpa pertolongan medis. Korban dari kalangan wanita dan bayi pun berjatuhan.

“Kami mengatakan kepada tentara-tentara itu, bahwa saya harus pergi ke rumah sakit dengan segera, karena saya akan melahirkan,” ucap Misuk Hayik (23) ketika sampai di pos pemeriksaan yang dijaga oleh tentara Israel.

Pada awalnya mereka menolak, lalu menyuruh Misuk membuka perutnya, hingga mereka yakin bahwa misuk benar-benar hamil. “Setelah pemeriksaan itu,” cerita Misuk, “satu jam kemudian mereka membolehkan kami melewati pos pemeriksaan. Maka mobil yang kami tumpangi bergerak. Akan tetapi setelah berjalan beberapa ratus meter, saya mendengar letusan senjata, dan percikan api terlihat dari depan mobil, dan mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti.”

Misuk melihat luka dibagian tas tubuh suaminya yang duduk di kursi kemudi. Ayahnya yang duduk disamping suaminya juga diterjang peluru di tubuh bagian atasnya.

“Saya yang berada di bagian belakang mobil, berusaha melindung kepala dengan tas yang berisi pakaian bayi. Walau demikian, serpihan kaca yang berasal dari kaca depan sempat melukai saya. Setelah tembakan berhenti, suasana menjadi senyap, saya berbicara kepada suami dan ayah saya, akan tetapi tidak ada yang menyahut. Saya sadar bahwa situasi begitu mengkhawatirkan dan rasa sakit di dalam perut mulai aku rasakan.

Saat itu, saya mulai menangis dan menjerit. Beberapa tentara berdatangan dan mengeluarkan saya dari mobil, dan memaksa saya untuk membuka pakaian. Saya dibiarkan di jalanan tanpa memberikan pakaian untuk menutup badan dalam keadaan terluka dan kesakitan. Kemudian mereka membawa suami dan ayah saya ke rumah sakit Israel. Mereka juga memanggil ambulan dari Nablus untuk saya.“

Setelah tiba di rumah sakit, “Bayi perempuan saya lahir, di tangga rumah sakit, dan saya beri nama Fida.“

Misuk memperoleh bayi mungil, akan tetapi di saat yang sama ia kehilangan suami dan ayahnya setelah melewati pos pemeriksaan. Kisah nyata ini terekam dalam jurnal Al-Mu’anah Al-Mar’ah Al-Filisthiniyah.

Pos “Penjemput” Maut
Pos-pos keamanan Israel, seakan menjadi tempat untuk menyerahkan nyawa. Tidak hanya bagi manusia dewasa, tapi juga bagi bayi-bayi yang masih dalam kandungan pun terancam kehidupannya. Bagi wanita Palestina yang hendak melahirkan dan segera membutuhkan pertolongan medis, maka bertemu dengan pos-pos Israel adalah sebuah keadaan yang gawat.

Mereka yang pernah terjebak dalam situasi di atas, salah satunya adalah Malkah Qafishah, seorang ibu yang tinggal di kota Khalil. Pada bulan ke tujuh dari masa kehamilannya, pasukan Israel memasuki kotanya dan mulai menyalakkan senjata-senjata mereka.

“Saya mendengar letupan senapan dan meriam yang berasal dari helikopter yang seperti mendekat ke rumah kami. Saat itu, kesadaran saya mulai menghilang dan saya terjatuh pingsan di depan pintu dan mengeluarkan banyak darah,“ tutur Malkah.

Keluarganya mengetahui apa yang harus dilakukan. Ambulan segera dipanggil guna membawa Malkah menuju rumah sakit untuk melakukan persalinan. Namun karena situasi kota cukup mencekam dan membahayakan, maka baru satu jam kemudian ambulan bisa sampai dengan selamat di rumah keluarga Malkah.

Untuk menuju rumah sakit, Malkah harus melewati empat pos keamanan Israel, sebelum diperiksa oleh para dokter di rumah sakit. Di setiap pos, tentara-tentara Israel membuka pintu ambulan. Dengan menjalani pemeriksaan itu, perjalanan yang mestinya bisa ditempuh dalam 5 menit molor menjadi 1,5 jam.

Hingga tiba di rumah sakit, dokter memandangnya seraya mengatakan, “Sayang sekali…, seandainya Anda sampai di sini dua puluh menit sebelumnya, mungkin kami bisa menyelamatkannya.” Bayi itu telah meninggal di perjalanan sebelum dilahirkan.

Peristiwa tragis juga menimpa Ruwaidah Naji Rasyid, yang tinggal di Desa Al-Waljah, Bait Lahm (Betlehm). Ia mengandung setelah begitu lama menunggu. Di bulan ketujuh, ia merasakan nyeri di perutnya. Ia sadar kalau hendak melahirkan.

Bersama suaminya, ia meluncur menuju rumah sakit. Tidak seperti yang mereka harapkan, pasukan Israel melarang mereka melewati pos penjagaan. Sang suami mencoba agar mereka mengizinkan, akan tetapi para penjaga itu bergeming. Akhirnya keduanya kembali ke rumah.

Sekali lagi mereka kambali dan mencoba menembus pos pemeriksaan. Selama 20 menit, sang suami berdebat dengan para penjaga itu. Hasilnya mereka tetap tidak memberikan izin. Tidak ada pilihan lain bagi suami-istri itu, kecuali menempuh jalan tak beraspal dan terjal, yang memakan waktu 1,5 jam untuk melaluinya, agar terhindar dari pos Israel.

Di tengah perjalanan, si ibu melahirkan bayi merah yang beratnya hanya 1,416 gram. Janin itu tiba di rumah sakit setelah menempuh perjalanan yang amat payah dan suhu badannya menurun. Di rumah sakit, para dokter sudah mencoba menolong, tetapi si bayi meninggal setelah satu jam berada di rumah sakit.

Penderitaan Rola Asytiyah lebih parah dari kisah-kisah di atas. Saat usia kehamilannya mencapai delapan bulan, ia sudah merasakan bahwa bayinya hendak lahir. Karena itu, pada pukul 05:00 pagi hari bersama suaminya, berangkat menuju rumah sakit Rafidiyah di kota Nablus. Dalam kondisi normal, perjalanan itu hanya memakan waktu 15 menit.

Dawud, suaminya menelpon Bulan Sabit Merah, agar bisa mengirim ambulan. Tetapi pihak Bulan Sabit Merah mengatakan bahwa ambulan tidak bisa menuju desanya, karena terhalang pos Israel. Mereka hanya bisa bertemu di pos itu, sehingga Rola dan suaminya harus berjalan menuju pos. Celakanya, sesampainya di depan pos keduanya dilarang lewat, sebagaimana nasib yang dialami ambulan.

Rola pun tidak bisa menahan lagi. Berbekal beberapa lembar selimut, ia pergi ke padang pasir yang tidak jauh dari pos penjagaan, dan melahirkan di tempat itu. Jeritan Rola yang memecah sunyi tidak membuat para tentara penjajah itu iba. Dawud berkali-kali meyakinkan kepada para serdadu itu bahwa istrinya telah melahirkan. Setelah beberapa menit terdiam, Rola kembali menjerit-jerit, ”Bayinya meninggal…bayinya meninggal…”

Akhirnya para penjaga itu mengizinkan Dawud menyewa taksi ke rumah sakit. Namun segalanya sudah terlambat. Bayi itu lahir di dekat pos Israel dan meninggal di tempat itu pula. Rencananya mereka hendak memberi nama bayi perempuan itu dengan nama Mira. Ternyata nama itu tidak terpakai kecuali hanya satu kali, yakni sebagai tanda di nisan pusaranya yang kecil.

Kejadian-kejadian memilukan di atas hanya sebagian kecil dari pendereitaan ibu-ibu Palestina. Sejak tahun 2000 hingga 2006 tencatat sudah ada 69 kasus kalahiran yang terjadi di pos-pos pemeriksaan, sebagaimana telah dilansir oleh Kementerian Kesehatan Palestina. Dari kasus kelahiran itu, 35 bayi meninggal di pos-pos pemeriksaan, karena tidak mendapatkan perawatan medis dengan segera. Dan lima ibu juga meninggal karena terpaksa melahirkan dekat pos-pos itu, tanpa memperoleh pertolongan yang layak. *Thoriq/Suara Hidayatullah DESEMBER 2008

No comments:

Post a Comment

;